KUTEMUKAN ISTRIKU DI TEMPAT SAMPAH



Akhir-akhir ini isu sampah begitu berisik mengisi ruang-ruang publik. Dari obrolan yang sekedar guyonan di pos ronda, twitter world, talk show, hingga debat panas saling bunuh bersenjata kata-kata. Semuanya menginginkan penanganan sampah yang lebih baik, tapi ada sebagian yang sudah pasrah pada upaya yang sudah dilakukan para pejabat. Semuanya lupa, sampah itu juga berasal dari dapur yang tiap pagi mereka asapi, yang menjadi tanggungjawabnya....

Ada pemikiran individualis yang sering menyeruak di antara debat panas, diantara kolam nyinyiran, bahwa semuanya bisa berubah, jika kita mulai dari diri sendiri. Tapi yang punya pemikiran seperti itu, juga sedikit....Terus kapan kita bisa berharap, semuanya akan membaik?

Aah....seandainya, semuanya sudah kita jadikan habit sejak kecil. Pasti hal-hal seperti ini tidak sedemikian ruwet. Karena saya sadar bahwa, meubah kebiasaan yang sudah menahun itu sangaaaaaat sulit. Itu berkaitan dengan sesuatu yang ghoib. Meubah sebuah pemikiran, mindset.

Seringkali upaya yang sudah dilakukan, berulang kali, juga tidak serta-merta dapat meubah kebiasaan. Sehingga seolah-olah tidak ada upaya apa-apa. Seolah kita tidak bekerja. Kalau tidak percaya, silakan saja buktikan. Anda masuk kamar mandi, kaki yang mana yang anda dahulukan? Itu adalah hal sederhana, yang sudah diajarkan dari kecil. Jika ternyata anda masuk kamar mandi mendahulukan kaki kanan, berarti anda termasuk golongan yang terpengaruh lingkungan kidal, khususnya kidal kanan....Ha ha ha. Saya percaya anda akan susah untuk meubah ke kaki kiri terlebih dulu, dalam waktu singkat.

Itulah mengapa anak-anak sekolah di Jepang, di awal-awal mereka masuk, selalu di ajarkan moral dan kepribadian terlebih dulu. Membentuk mereka lebih mandiri dan bertanggungjawab, hingga ternyata sekolah-sekolah mereka tidak menggunakan jasa cleaning service. Mereka belajar bagaimana menangani sampah secara sederhana, dan mereka bisa. (sumber informasi dari google, mohon di cek...hehe).

Apa pendidikan di sini tidak seperti itu? Tidak juga, di sini ada pelajaran agama dan budi pekerti. Pelajaran agama cakupannya lebih luas, cuma sering di pandang sempit oleh orang dewasa, namun tidak begitu jika mereka sudah bijaksana.... .....Pelajaran budi pekerti sebenarnya sudah ada di pelajaran agama, hanya lebih di khususkan lagi. Terus, dari dua pelajaran itu kenapa kita tidak seperti di Jepang? .....Hia.....itu, kita sering lupa. Kalau nilai pelajaran-pelajaran itu bagus, ya sudah. Kita kembali ke kebiasaan lama. Kembali ke peradaban yang sudah berakar, seperti peradaban setelah makan, yang buang tulang ayam goreng di bawah meja....ha ha ha....

Sebenarnya, orang-orang pinter yang sudah memiliki gelar, yang “S”-nya mungkin lebih banyak dari isi kulkas kita, tahu akar masalah dari sampah ini. Cuma mereka terkendala dengan sesuatu yang mengharapkan penyelesaian yang instan.....Terus solusinya bagaimana? Yo mbuh....pikir dewek lae.....sekali-kali gunakan otak mahalmu lae....



EH, ISTRIMU MASIH DI TEMPAT SAMPAH?

Oh iye, sampe lupe ceritanye....hehe
Ini cerita adalah bukan tentang istri saya, tapi istri dari temen istri saya ....(saya kasih waktu buat berpikir...kalau sudah paham, lanjut ke cerita di bawah).

Beberapa tahun yang lalu, cerita ini dimulai. Temen istri saya rumahnya di Go**ong, sebuah kota kecil yang masuk Kabupaten Ke**men, yang berbatasan dengan kabupaten Ba****as. Setiap hari setelah subuh, ya sekitar jam tujuh (), Dia berangkat kerja. Menggunakan motor yang keren pada waktu itu, tidak untuk saat ini.... Melintasi jalan-jalan desa yang sempit hingga jalan nasional menuju tempat kerjanya di Pu******to. Kemudian dia bekerja sampe sore kemudian pulang melalui jalan yang sama setiap hari. Begitu terus kebiasaanya, saya malas menceritakannya, membosankan.

Suatu ketika, ketika penat dan bosan sudah tak tertahankan, Dia menghentikan laju motornya di sekitaran Gunung Tu*el. (Sebuah tempat pembuangan akhir sampah yang cukup besar di Ba****as, yang saat ini sudah ditutup). Dia kemudian mengeluarkan botol dari saku samping tasnya, dan kemudian menenggak isi dari botol yang di bawa dari rumah hingga tetes terakhir, minuman itu hanya air putih saja ya sob, jangan berpikiran yang berlebihan....


Sembari minum, kakinya menendang-nendang tumpukan kertas yang banyak terdapat di situ. Bau yang menyengat sudah tidak begitu Dia rasakan. Panca inderanya sudah sering pasrah, sudah tidak pernah menolak, untuk sesuatu yang tidak enak, sensornya tumpul, impuls-nya sudah tidak bisa meloncat ke seberang lagi.....Yah karena dia begitu terbiasa dengan keadaan yang berat.

Dengan keisengan yang tersisa, dia perhatikan kertas-kertas itu. Ya Allah, itu ternyata adalah aplikasi lamaran pekerjaan......bercecer, berserak, terbuang. Tanpa dosa, mereka divisi HRD membuang kertas yang dibuat dengan tulisan tangan, yang menulisnya dengan asa dan cita-cita. Tempat menggantungkan nasib dan doa Ibu yang rela bangun di sepertiga malam.

Dia berpikir, kurang lebih seperti itu akhir dari puluhan aplikasi lamaran yang dia buat. Namun hanya satu tempat yang menghargai aplikasi lamarannya, ya ....tempat Dia bekerja sekarang.

Sekejap Dia tertarik dengan seberkas lamaran, tiada indah tulisan tangannya, tiada indah untaian katanya. Ada selembar pas foto dengan latarbelakang merah di pojok kiri atas, menempel terjepit paper clip. Wajahnya biasa saja, senyumnya juga seolah dipaksakan demi menghargai tukang foto. Matanya sendu, sayu tak bergairah. Rambut tergerai sebahu, kusam. Tapi tak tahu kenapa, ada getar-getar aneh yang menjalar dan menghangat di dalam nadinya, bergerak terus, hingga terasa berdesir mengarah ulu hatinya. Getaran aneh itu seperti setrum, namun tidak terlalu besar, setrumnya tidak seperti ketika anda mencolokan jari anda ke lubang stop kontak, biasa saja. Apalagi sampai membayangkan setrum di ujung pohon sengon yang memasuki area elektromagnet Sutet yang membuat blackout Jakarta. Jauuuuh.....

Dia kemudian membuka resleting tas punggungnya, memasukan berkas lamaran yang tadi, dan melanjutkan perjalanan.

Malam itu tanpa terasa sudah berhari-hari dia bergelut dengan rutinitas yang tidak dia sukai. Apalagi tanpa seseorang yang mau mendengarkannya bercerita, cerita tentang harapan, tentang suasana kantornya yang memuakan, tentang isi dompetnya yang begitu menyedihkan. Dia merasa ada sesuatu yang kurang.

Sejenak Dia beranjak, meninggalkan segelas kopi buatan Simbok yang tersisa setengah. Singkong yang ada di piring masih utuh, belum terjamah maupun berkurang sepotongpun.

Dia mengambil tas punggungnya, membuka resletingnya, dan mengeluarkan berkas lamaran seseorang yang sudah terselip di antara kertas-kertas laporan hariannya. Dia perhatikan dengan seksama, sekilas dia melihat pas foto di pojok kiri atas, kemudian dia memutar-mutarkan matanya mencari sesuatu. Ada sederetan angka yang kemudian menarik perhatiannya. Dia ambil hape no*ia tahan-banting-nya yang sedari tadi tergeletak di samping gelas kopinya. Dia mengetik deretan angka itu di hape. Di bawah deretan angka itu Dia mengetik sedikit kata, buah pikir yang menurut saya terlalu lama. Selanjutnya dia pencet tombol kirim. Semenit kemudain tidak ada balasan, setengah jam belum juga ada balasan, hingga beberapa jam tanpa ada bunyi sesuatu dari hapenya, maka Dia memutuskan untuk tidur. Saat itu jam menunjukkan pukul 02.00 WIB.

Pagi harinya setelah sholat subuh, dia menghampiri hape-nya. Tidak ada SMS masuk ataupun bekas panggilan tak terjawab. Berjenak-jenak Dia menunggu. Masih sama. Dia menggerakan kakinya dengan pelan menuju kamar mandi.

Siang itu di akhir bulan, meskipun target bulanannya tidak tercapai, suasana hatinya begitu berbunga. Seseorang yang ada di berkas lamaran yang Dia ketemukan di tempat sampah membalas SMS nya. Meskipun hanya dengan kalimat pendek “Ini siapa ya?”. Dia kemudian membalasnya, memperkenalkan dirinya selengkap-lengkapnya, namun tidak cerita tentang isi dompetnya.

Akhirnya Dia mengajak seseorang yang baru dikenalnya itu ketemuan, disetujui. Dan kini Dia baru tahu, ternyata seseorang itu rumahnya ada di Desa tetangga, yang jalannya Dia lewati setiap hari.

Beberapa bulan kemudian, mereka berdua memutuskan menikah. Dan berakhir bahagia. Gelar pendidikan istrinya sampai saat ini tidak pernah digunakan untuk melamar pekerjaan lagi, namun berguna untuk mendidik anak-anak mereka.

Mereka tidak pernah bersedih bagaimana cerita ini berawal dan seberapa bau tempat yang mempertemukan mereka. Tempat sampah.

Hingga cerita ini ditulis, mereka sudah dikaruniai dua anak.

Based on true story. Di ceritakan dengan sedikit lebay. Beberapa tempat di samarkan. Mohon maaf jika ada yang kurang pas dan menyinggung. Semata dibuat agar menarik di baca saja.


09/08/2019
Makli Mushodiq
Sumber Ilustrasi Foto : SM
Latest
Previous
Next Post »