Pengangkutan Ikan Tanpa Air

Pendahuluan
Transportasi ikan tanpa air sudah lama jadi idaman para pengusaha perikanan, terutama ikan hidup bernilai jual tinggi, seperti kerapu tikus dan lobster. Pengusaha ikan hias eksotis bertujuan ekspor, seperti arwana atau botia, pun punya harapan yang sama. Maklum, produk perikanan harus menggunakan transportasi udara yang biayanya lumayan tinggi, masih ditambah air pula.
Pengangkutan ikan hidup tanpa air telah cukup lama diteliti. Prinsipnya, ikan dipingsankan terlebih dahulu menggunakan obat bius ikan (MS-222) atau minyak cengkeh. Hal yang sama dilakukan Sam Herodian, peneliti sekaligus Dekan Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta), IPB. Kelebihannya, ia sama sekali tidak memanfaatkan bahan kimia. “Dalam pemikiran saya, ikan hidup ini akan dikirm ke negara-negara yang sangat peduli dengan kualitas produk pangan, termasuk Jepang, jadi sebaiknya tidak menggunakan bahan kimia,” ujar Sam.
Tahan 12 Jam
Nah, dengan alasan itulah akhirnya Sam mengotak-atik suhu sebagai perlakuan untuk meminimalkan metabolisme ikan selama transportasi. Setelah delapan tahun meneliti bersama sejumlah mahasiswanya, ia berhasil menemukan suhu yang tepat untuk menidurkan sementara beberapa jenis ikan, antara lain mas, lele, dan udang windu, masing-masing 6oC, 3oC, dan 15,5oC. Sanggup bertahan hingga 24 jam dan tingkat kelangsungan hidup ikan mencapai 90%.
Yang lebih penting lagi, ia berhasil merancang mesin penurun suhu (water chiller) yang bekerja secara otomatis. Suhu dan waktu diatur menggunakan sistem micro-controller dan dihubungkan dengan sebuah bak berisi ikan yang akan dipingsankan. Air dalam bak pemingsan akan masuk ke dalam mesin sehingga suhunya turun secara bertahap dan mencapai suhu kritis ikan. Suhu akan bertahan dalam waktu yang ditentukan sampai ikan cukup aman untuk dikemas.
Menurut doktor lulusan Tokyo University of Agriculture and Technology ini, alat rancangannya relatif hemat biaya, sekitar Rp 20 juta dengan masa pakai 5—10 tahun. Dalam sekali siklus, kapasitas bak pemingsan mampu menampung 25 kg ikan dengan waktu 1—2 jam, bergantung jenis ikannya.
Pengajar yang membimbing tak kurang dari sepuluh mahasiswa dalam penelitian ini mengatakan, hasil risetnya tersebut sudah dipatenkan. Namun, ia mengakui masih ingin memaksimalkan hasil penelitiannya. Misalnya, lama waktu pingsan yang baru 12 jam akan diupayakan mencapai 24 jam sehingga jarak tempuh transportasi ikan bisa lebih jauh.
Serbuk Gergaji
Sebelum dipingsankan, ikan tidak diberi makan (diberok) selama selama 12 jam di dalam bak berisi air yang parameternya sesuai kebutuhan ikan normal. Selanjutnya, ikan dimasukkan ke bak pemingsan yang telah diberi aerator untuk menjaga kandungan oksigen terlarut. Suhu kemudian mulai turun secara bertahap hingga ikan mencapai titik kritisnya.
Setelah ikan benar-benar “tidur”, segera pindahkan ke dalam kotak berisi serbuk gergaji yang telah dilembapkan. Menurut Sam, ini adalah fase yang rawan karena waktu yang tersedia paling lama 20 menit. “Lebih dari 20 menit, ikan akan mati,” paparnya.
Titik krusial lain dalam pengiriman ikan dengan metode kering ini, serbuk gergaji tidak boleh dalam kondisi berair atau tergenang karena juga menyebabkan ikan tewas. 
Ikan dalam kemasan dikondisikan pada suhu yang lebih tinggi dari suhu kritis, tapi lebih rendah dari suhu normal. Untuk udang windu misalnya, suhu dalam kemasan adalah 17,5oC.
Setelah sampai di tujuan, kemasan dibongkar dan ikan dimasukkan ke dalam bak berisi air yang dilengkapi aerator. Dalam waktu beberapa saat, ikan akan segera  siuman.

Previous
Next Post »